MAKALAH
QAWAID
FIQHIYYAH FIL MUAMALAH
Kaidah Rahn (gadai)
dalam islam
Dosen pengampu :
Dr. Sudirman Suparmin, Lc. MA
OLEH
:
M.Agus Kuncoro (0501181004)
M.Rafi Hagi (0501182183)
Fitria
Intan Sri Dewi (0501182196)
KELAS:
EKI 4 A
PROGRAM
STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita tetap bisa menikmati indahnya alam
ciptaan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda
Habibillah Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus
berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang sangat indah.
Penulis
disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan tugas
sebagai mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah fil Muamalah. Dalam makalah ini pemakalah
mencoba untuk menjelaskan tentang “Kaidah Rahn (gadai) dalam islam”.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya makalah ini.Dan penulis memahami jika makalah ini tentu
jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna
memperbaiki karya – karya kami dilain waktu.Demikianlah yang dapat kami
haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah kami buat ini mampu
memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.
Medan, April 2020
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.
Latar Belakang ................................................................................... 1
2.
Rumusan Masalah............................................................................... 1
3.
Tujuan Penulisan Makalah................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
A.
Pengertian Kaedah dan Tujuanya............................................................. 2
B.
Pengertian Rahn (Gadai)........................................................................... 2
C.
Pengertian Dhoman (Jaminan).................................................................. 6
BAB III PENUTUP....................................................................................... 15
1.
Kesimpulan................................................................................................ 15
2.
Saran ......................................................................................................... 15
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Gadai dalam khazanah Islam disebut dengan rahn, ia adalah menggadaikan
suatu barang sebagai jaminan atas transaksi hutang yang dilakukannya. Karena
sifatnya adalah akad tabaru’ maka tidak boleh ada manfaat yang diambil oleh
murtahin (orang yang menerima gadai).Harta yang digadaikan sendiri adalah tetap
menjadi milik dari rahin (penggadai) sehingga tidak boleh digunakan tanpa
adanya izin dari pemiliknya.Murtahin diperbolehkan mengambil uang pemeliharaan
dari rahin jika harta gadaian tersebut membutuhkan pemeliharaan. Inti
dari akad gadai dalam Islam adalah saling tolong-menolong untuk meringankan
beban orang lain.
Dalam hal jual beli sungguh beragam,
bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn
(gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk
riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.Akan tetapi banyak sekali orang yang
melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan
gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu
kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.1
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dan tujuan
kaidah?
2.
Apa pengertian rahn
(gadai)?
3.
Apa pengertian dhoman
(jaminan)?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah dan selain itu untuk
mengetahui:
1.
Pengertian dan tujuan
kaidah
2.
Pengertian rahn (gadai)
3.
Pengertian dhoman (jaminan)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Tujuan Kaidah
a.
Pengertian Kaidah
Kaidah' adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi
manusia dalam bertindak.Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang
mengatur prilaku manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat.Secara
umum kaidah dibedakan atas dua hal yaitu kaidah etika atau kaidah hukum.
Kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila,
norma agama dan norma kesopanan. Namun tidak jarang kaidah etika merupakan
kaidah yang datang dari diri manusia misalnya dari ajaran agama contohnya tidak
boleh berprilaku jahat pada orang lain.
Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi
tegas.Kaidah hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar
pribadi, baik secara langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum
ditujukan untuk kedamaian, ketentraman, dan ketertiban hidup bersama.
b.
Tujuan Kaidah
Adapun tujuan kaidah adalah untuk mengatur
agar suatu masalah kehidupan ini bisa berjalan dengan sebaik mungkin tanpa
adanya kesemerautan.
B. Pengertian Rahn (Gadai)
Gadai
(al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu
penetapan dan penahanan. Sedangkan secara istilah dapat diartikan menjadikan
suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas adanya dua
kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
Gadai
adalah menjadikan suatu barang menjadi peneguh atau penguat kepercayaan dalam
utang piutang.
Sedangkan,
dalam dunia perbankan syari`ah biasa disebut dengan agunan. Agunan adalah
jaminan tambahan,baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang
diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syari`ah.2
1. Dasar hukum gadai
Dasar
hukum gadai dapat kita ketahui dalam firman Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283
وَإِنكُنتُمْعَلَىٰسَفَرٍوَلَمْتَجِدُواكَاتِبًافَرِهَانٌمَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْأَمِنَبَعْضُكُمبَعْضًافَلْيُؤَدِّالَّذِياؤْتُمِنَأَمَانَتَهوَلْيَتَّقِاللَّهَرَبَّهُ ۗ وَلَاتَكْتُمُواالشَّهَادَةَ
ۚ
وَمَنيَكْتُمْهَافَإِنَّهُآثِمٌقَلْبُهُ ۗ
Artinya: "Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) ".
(Al-Baqarah: 283).3
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah
dari Anas ra. Ia berkata :
Dari Anas Ia berkata :Rosululloh SAW merungguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di
Madinah sewaktu beliau mengutang sya’ir (gandum) dari seorang yahudi untuk ahli
rumah beliau” (HR.Ahamad,Bukhari ,dan lainya )
Dari hadits
tersebut dijelaskan bahwa agama Islam dalam urusan muamalat tidak membedakan
antara pemeluknya dengan yang lain. Wajib atas muslimin membayar hak pemeluk
agama lain seperti terhadap sesama mereka.4
2. Rukun dan syarat gadai
Rukun adalah hal-hal yang harus ada didalam
suatu urusan yang dimaksud. Adapun rukun gadai meliputi :
2. Lafaz ( akad )
Kalimat akad misalnya ’’saya rungguhkan ini kepada engkau
atas utangku yang sekian kepada engkau”.
Jawab yang berpiutang “Saya terima rungguhan
ini”.
3. Aqid,
Yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin).Adapun syarat keduanya adalah baligh, berakal dan hendaknya keduanya
adalah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
4. Barang yang digadaikan (marhun)
Barang yang digadaikan hendaklah sudah ada diwaktu akad
gadai dan bisa diserahkan oleh penggadai serta tidak rusak sebelum sampai janji
hutang harus dibayar.
5. Adanya hutang.
Disyaratkan keadaan utang telah tetap.Apaila utang telah
tetap, yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang
tersebut.Baik dengan jalan dijual, diberikan dan sebagainya.Kecuali dengan izin
yang berpiutang.5
3. Akibat hukum terhadap harta yang digadaikan.
Bila
marhun (barang yang digadaikan) dibawah penguasaan murtahin (orang yang menerim
gadai) ,maka murtahin tidak wajib menggantinya ,kecuali bila rusak atau
hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya
murtahin bermain-main dengan api ,lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang
tidak dikunci ,lalu barang-barang itu hilang diambil orang.
Murtahin
diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian ketika ada
cacat atau kerusakan apalagi hilang, maka menjadi tangung jawab murtahin.
Adapun
resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah
sebagai berikut,
a. Risiko tidak terbayarnya utang nasabah
(wanprestasi)
b. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau
rusak.6
4. Implementasi Rahn Dalam Pegadaian Syariah
Implementasi
operasional pegadaian syariah hampir sama dengan pegadaian konvensional.
Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat
hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan,
uang pinjamanpun dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Begitupun
untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan
surat bukti rahn saja.
Sesuai
dengan landasan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas
dua akad transaksi syariah yaitu:
1)
Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang
nasabah.
2)
Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang
dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi
pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah
yang telah melakukan akad.7
Adapun teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah
sebagai berikut:
i.
Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk
mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk
dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
ii.
Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai.
Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya
Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
iii.
Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya
Jasa Simpan oleh nasabah.
iv.
Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh
tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat mengembalikan uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali
masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
v.
Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman
dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan
pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman
oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.
vi.
Manfaat ar Rahn (Gadai)
Manfaat yang diambil oleh bank dari prinsip ar
rahn adalah:
a. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau
bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
b. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan
pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang jika nasabah peminjam ingkar
atau lalai karena ada suatu asset /barang jaminan yang dipegang bank.
c. Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme
pegadaian, maka barang sudah tentu akan sangat membantu saudara kita yang
kesulitan dana terutama di daerah-daerah.8
5. Pemanfaatan Barang Gadai
Pemilik
barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, bahkan semua
manfaat tetap kepunyaan penggadai.Kerusakan barang pun tetap menjadi
tanggungannya. Sabda Rosululloh SAW :
“Rungguhan
tidak menutup pemiliknya dari manfaat baraang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan
dia wajib membayar dendanya” (H.R Syafi’i dan Daruqutni)9
Orang yang menerima rungguhan juga dapat
mengambil manfaat barang dengan sekedar mengganti kerugiannya, untuk menjaga
barang tersebut.
C. Pengertian Dhoman (Jaminan)
Jaminan maksudnya tanggungan dan kewajiban.
Kamu berkata,” dhamina asy-syai’ dhamanan fahuwa dh min wa dhamn”(ضمن الشيء
ضمانا فهو ضامن وضمين) yaitu menanggung dan mewajibkan dirinya,
“wa dhammantuhu asy-syai’ tadhminan fathadhammanahu anni”(و ضمنته الشيء تضمينا فتضمنه
عني) saya
memberi beban kepadanya sebuah beban, maka dia membawa beban diriku, maksudnya
saya memberikan piutang kepadanya, maka dia wajib melaksanakannya10.
Dhaman adalah menanggung kewajiban dari
sesuatu yang wajib atas orang lain, disertai tetapnya sesuatu yang dijamin
darinya.Dhaman sah dengan semua lafazh yang menunjukkan atasnya, seperti aku
menjaminnya, atau aku menanggung darinya, atau semisal yang demikian itu11.
Firdaus at.sl., (2005: 84 – 85) mengemukakan
bahwa para ulama menjelaskan tentang dhaman sebagai berikut.
a. Menurut mazhab Hanafi bahwa dhaman adalah
menggabungkan jaminan kepada jaminan yang lain dalam hal penagihan dengan jiwa,
utang atau benda lain.
b. Pendapat mazhab Maliki, dhaman adalah jaminan
seorang mukalaf yang bukan safih (tidak bisa membelanjakan harta boros) atas
utang, atau untuk mengawasi orang yang dijamni, baik dengan menghadirkannya
maupun tidak.
c. Menurut mazhab Hambali, yang dimaksud jaminan
(dhaman) adalah menggabungkan antara tanggung jawab penjamin dan orang yang
dijamin dalam menanggung kewajiban.
d. Ulama mazhab Syafi’I berpendapat bahwa
dhaman adalah membebankan diri dengan
menanggung utang orang lain, atau menghadirkan benda yang dibebankan atau
menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, yang terjadi
ditengah masyarkat, jaminan (dhaman) ini juga dapat diberlakukan pada jaminan
tahanan atas seorang tersangka.Oleh karena itu, dalam dhaman mengandung tiga
permasalah, yaitu sebagai berikut.
a. Jaminan atas utang seseorang. Dalam soal
utang, kita bisa menjamin utang seseorang seandainya seseorang yang kita jamin
itu tidak dapat membayar utangnya, kitalah yang wajib melunasi utang seseorang
itu. Atau, karena sesuatu hal, orang yang member utang boleh menagih utangnya
kepada kita.
b. Jaminan dalam pengadaan barang. Misalnya,
seseorang menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh si X. Apabila si X
tidak dapat mengembalikan barang itu kepada si Y.
c. Jaminan dalam menghadirkan seseorang ditempat
tertentu. Umpamanya, si A menjamin menghadirkan si B dalam suatu perkara ke
hadapan pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Sabda
Rosulullah Saw:
العارية مؤداة والزعيم غارم. رواه أبو داود والترمذى
“pijaman hendaknya dikembalikan, dan orang
yang menanggung hendaklah membayar.” (riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)
1. Landasan Hukum Dhaman
ويصح ضمان الديون المستقرة في الذمة إذا علم قدرها؛ ولصاحب الحق مطالبة الضامن والمضمون عنه؛ إذا كان الضمان على ما بينا.وإذا غرم الضامن رجع على المضمون عنه؛ إذا كان الضمان والقضاء بإذنه.و لا يصح ضمان المجهول, و لا ما لم يحب إ لا درك البيع.
Dhaman (menjamin) hutang yang masih dalam status
perjanjian menjadi sah apabila diketahui kadarnya.Orang yang member hutang
berhak menagih kepada siapapun yang menginginkannya, baik dhamin (penanggung
hutang) maupun madhmun ‘anhu (orang yang ditanggung hutangnya), jika dhaman
tersebut sesuai dengan yang kami jelaskan.Apabila dhamin berhutang, dia bisa
meminta madhmun ‘anhu untuk ganti membayar hutangnya jika dhaman tersebut dan
pelunasannya berdasarkan izinnya.Tidak sah hukumnya dhamman untuk hutang yang
tidak jelas dan sesuatu yang tidak berada dalam perjanjian kecuali diketahui
barangnya12.
Tidak sah hukumnya dhaman untuk hutang yang tidak jelas
dan sesuatu yang tidak berada dalam perjanjian. Misalnya, seseorang mengatakan
, “ Saya menanggung apa yang engkau hutangkan
kepada si Fulan “.
Jika barang diketahui, maka dhaman untuk hutang yang
tidak jelas dan sesuatu yang tidak berada dalam perjanjian itu boleh dilakukan
.contoh kasus : seseorang menanggung harga untuk pembeli jika barang yang
dicari keluar bukan dari penjualnya, atau cacat dan lain sebagainya. Ini adalah
dhaman untuk sesuatu yang belum tetap. Hukumnya boleh , karena kebutuhan.
2. Rukun Ad-Dhamman
Adapun
yang menjadi rukun dalam dhaman13,
yaitu:
a. Yang menjamin, disyaratkan sudah baligh,
berakal tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dengan kehendaknya sendiri.
Yang berpiutang (madmun lah).syaratnya, dia
diketahui oleh yang menjamin
b. Yang berutang (madmun ‘anhu)
c. Utang , barang atau orang. Disyaratkan
diketahui dan tetap keadaannya (baik sudah tetap ataupun akan tetap)
d. Lafadz. Disyaratkan lafadz itu berarti
jaminan, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara
(muaqatan). Seperti yang dikatakan oleh orang yang menanggung “ saya jamin
utang mu kepada si fulan” atau saya bertanggung jawab untuk menghadirkan barang
itu atau orang itu ke tempat dan waktu yang ditentukan,” walaupun tidak dijawab
oleh yang berpiutang (tidak wajib ijab qabul).
Yang berpiutang berhak menagih kepada yang
menjamin atau kepada yang berutang. Apabila utang dibayar oleh yang menjaminnya, dia berhak meminta ganti
kepada yang berutang, asal dia mendapat izin dari yang berutang sewaktu akad
dan sewaktu membayarnya.
Seseorang yang berada dalam suatu urusan
perkara boleh juga ditanggung untuk menhadirkannya ke majelis pengadilan, asal
prkara itu bersangkutan dengan manusia.Tetapi kalau perkara itu semata-mataa
bersangkutan dengan Allah saja, seeperti siksaan karena zina atau minum arak,
tidak boleh ditanggung karena iadapat mengingkari perbuatannya agar dilepas
dari ancaman yang dihadapkan padanya.
Menurut
Al-Jazairi, diantara hukum-hukum Dhaman adalah sebagai berikut.
a. Dalam dhaman disyaratkan adanya kerelaan
dhamin (penanggung), sedang pada orang yang ditanggung, kerelaan tidak
diperlukan.
b. Utang madhmun (orang yang ditanggung) tidak
lunas kecuali setelah penangung (dhamin) melunasi utangnya. Jika utang madhmun
(orang yang ditanggung) telah terlunasi, tugas dhamin selesai.
c. Dalam dhaman, pengenalan terhadap orang yang
ditanggung (madhmum) itu tidak diperlukan, karena seseorang diperbolehkan
menanggung orang yang tidak dikenalnya, karena dhaman adalah sumbangan dan amal baik seseorang
kepada orang lain.
d. Dhaman tidak terjadi kecuali pada utang yang
pasti, atau sesuatu yang mengarah kepada kepastian, misalnya ja’alah.
e. Tidak dilarang bila dhamin (penanggung)
terdiri dari banyak orang dan juga tidak dilarang bila dhamin ditanggung orang
lain.
3. Macam-macam Dhaman
Secara
umum (garis besar), dhaman dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Dhaman dengan jiwa dikenal pula dengan
kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan) pada pihak penjamin
(al-kafil, al dhamin atau al za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung
kepada yang ia janjikan tanggungan (makfullah).
Penanggungan (jaminan) yang menyangkut
masalah manusia boleh hukumnya.Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui
permasalahan karena kafalah menyangkut badan bukan harta.Penanggungan tentang
hak Allah, seperti had al-khamar dan had menuduh zina tidak sah, sebab Nabi
Saw. Bersabda: “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat al-Baihaqi). Alasan
berikutnya ialah karena menggugurkan dan menolak had adalah perkara syubhat.
Oleh karena itu, tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang dan tidaklah
mungkin had dapat dilakukan, kecuali oleh orang yang bersangkutan. Mazhab
syafi’I berpendapat bahwa dhaman
dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban
menyangkut hak manusia, seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut
menurut syafi’iyah termasuk hak yang lazim. Bila menyangkut had yang telah
ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah. Ibnu Hazm menolak
pendapat tersebut. Menjamin dengan menghadirkan badan pada pokoknya tidak
boleh, baik menyangkut persoalan harta maupun menyangkut masalah had. Syarat
apa pun yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah bathil.
Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah
jiwa (kafalah bil al-wajh), dengan alasan bahwa Rasullah Saw.Pernah menjamin
urusan tuduhan. Namun, menurut Ibnu Hazm bahwa hadis yang menceritakan tentang
penjaminan Rasullah Saw. Pada masalah tuduhan adalah bathil karena hadist tersebut
diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah dhaif dan tidak
boleh diambil periwayatannya.
b.
Dhaman dengan harta yaitu kewajibna yang mesti ditunaikan
oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Dhaman harta
ada tiga macam yaitu:
1) Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar
utang yang menjadi beban orang lain, dalam hadis Salamah bin Aqwa bahwa Nabi
Saw. Tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar utang,
kemudian Qathadah r.a. berkata: “shalatkanlah dia dan saya akan membayar
utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya”.
Dalam dhaman utang disyaratkan sebagai
berikut:
-
Hendaklah nilai barang tersebut tetap pada waktu
terjadinya transaksi jaminan, seperti utang Qiradh, upah dan mahar seperti
seorang berkata, “juallah benda itu kepada A dan aku berkewajiban menjamin
pembayarannya dengan harga sekian”, maka penjualan benda tersebut adalah jelas,
hal disyaratkan menurut mazhab Syafi’i. sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu
Yusuf berpendapat boleh menjamin sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
-
Hendaklah barang yang dijamin diketahui menurut Mazhab
Syafi’I dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak
ketahui, sebab itu perbuatan tersebut gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh emnjamin sesuatu yang tidak diketahui
2) Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu
kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang laib,
seperti mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan kepada
pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil seperti dalna
kasus ghasab. Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
3) Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang
yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu
yang terlalu lama atau karena karena hal-hal lainnya, maka ia (pembawa barang)
sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang
yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.
4. Waktu pelaksanaan Dhaman
Dalam
pelaksanan, dhaman dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut:
a. Munjaz, yaitu jaminan yang ditunaikan ketika
peristiwa itu terjadi. Misalnya, seseorang berkata, “saya jamin si A sekarang”.
Dengan adanya kata “sekarang”, berarti ketika itu juga ia harus menunaikan apa
yang telah ia ikrarkan. Oleh karena itu, ucapan yang dikeluarkan oleh penjamin
menunjukkan waktu atau cara bagaimana ia memenuhi jaminan itu. Apabila kad
penjaminan itu terjadi maka penanggungan itu mengikuti akad utang, entah
dibayar seketika itu, dicicil, entah ditangguhkan dalam waktu tertentu.
b. Mu’allaq, yaitu menjamin sesuatu yang
dikaitkan dengan sesuatu. Misalnya, seseorang berutang kepada si A. saya
mengatakan kepada seseorang, “klaau kamu ditagih utang oleh si A, saya yang
akan membayarnya”. Dalam hal ini, antara penjamin dan yang dijamin itu sudah
saling tahu.
c. Mu’aqqad, yaitu jaminan yang harus dibayar
dengan dikaitkan pada waktu tertentu, seperti ucapan seseorang yang mengatakan,
“bila kamu ditagih utang pada bukan Desember, maka aku yang akna menjamin
pembayaran utangmu”. Menurut mazhab hanafi, penjaminan semacam itu adalah sah,
tetapi menurut mazhab Syafi’I, itu hanya sah pada orang yang menjamin atau
orang yang berutang. Namun yang perlu diingat, jaminan itu hanya menyangkut
harta dengan sesama manusia saja, tidak dengan Allah, seperti menjamin hukuman
potong tangan bagi pencuri atau qishah bagi pembunuh. Hukuman tersebut harus
langsung dijalani oleh pelakunya dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain.
5. Pembayaran Dhamin
Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi
kewajiban dengan membayar utang orang yang ia jamin, boleh meminta kembali
kepada madmun ‘anhu apabila pembayaran itu atas izinnya. Dalam hal ini para
ulama bersepakat, namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau
menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya.
Menurut al-Syafi’I dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin
tanpa izindarinya adalah sunah, dhamin
tidak punya hak untuk meminta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madmun
‘anhu). Menurut Mazhab Maliki, dhamin
berhak menagih kembali kepada madhmun ‘anhu.
Ibnu
Hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali kepada Madhmun
‘anhu atas apa yang telah dibayarkan,
baik dengan izin Madmun ‘anhu maupun tidak. Apabila madhmun ‘anhu (orang yang
ditanggung) tidak ada, kafil (dhamin)
berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntunan kecuali dengan
membayar atau orang yang mengutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari utang
makful (orang yang mengutangkan) adalah mem-fasakh-kan akad kafalah, sekalipun
makful ‘anhu dan kafil tidak rela.
6. Berakhirnya Akad Tanggungan
Penanggungan utang akan berakhir jika
ditandai dengan mulai tercapainya sasaran penanggungan itu sendiri, yaitu salah
satu dari dua perkara sebagai berikut. Pertama; pembayaran utang pemilik
piutang telah nyata-nyata dilunasi, atau paling tidak dengan sebuah tindakan
yang mengarah ke pembayaran utang, yaitu tindakan pemberi pinjaman yang
menghibahkan hartanya kepada peminjam sehingga tidak ada satu hal pun yang
membiarkan tanggungan tetap ada. Kedua; pembebasan utang yang keluar dari
pemberi pinjaman terhadap peminjam, atau dengan suatu hal yang memiliki
pemahaman yang sama dengan hal tersebut, sehingga utang menjadi gugur. Akan
tetapi pembebasan penjamin dari tanggungan tidak berakibat utang menjadi
otomatis bebas, karena pembebasan itu hanya bertujuan menghindari penagihan,
dan utang tetap menjadi tanggungan peminjam.Utang piutang juga dapat berakhir
melalui akad pemindahan utang kepada orang kaya, sehingga peminjam terbebas
dari tanggungannya, atau melalui mediasi yang dilakukan antara pemberi pinjaman
dan peminjam dengan tuntutan pengurangan sebagian utang.
7. Hikmah Dhaman
Hikmah
dhaman sebagai berikut:
1. Munculnya rasa aman dari peminjam
(penghutang).
2. Munculnya rasa lega dan tenang dari
pemberi hutang
3. Terbentuknya sikap tolong menolong dan
persaudaraan
BAB III
PENUTUP
i.
Kesimpulan
Rahn
adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”, Rahn termasuk akad
yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan
benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan
qirad.
Dhaman adalahmenanggung kewajiban dari
sesuatu yang wajib atas orang lain, disertai tetapnya sesuatu yang dijamin
darinya.Dhaman sah dengan semua lafazh yang menunjukkan atasnya, seperti aku
menjaminnya, atau aku menanggung darinya, atau semisal yang demikian itu. Dalam
segi hukum dhaman telah disepakati oleh para ulama bahwa diperbolehkan karena
mengandung kemaslahatan orang banyak, sedangkan beberapa juga beberapa ulama
tidak membolehkannya karena tidak adanya kejelasan atau pelanggaran dalam
perjanjian.
Diantara beberapa
amalan yang disunahkan untuk umat muslim khususnya maka harapan selanjutnya
agar terus bisa menuntut ilmu dalam muamalat. Banyaknya keterbatasan penulis
dalam menyampaikan penjelasan kali ini menjadikan pelajaran untuk kedepannya
dan diharapkan dari pembaca sekalian menyampaikan saran agar menjadi lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al hamid, Abdul Qadir
Syaibah, 2007, Syarah Bulughul Maram, Jakarta: Darul Haq.
Al bugha, Mustafa
Diib, 2017, Fikih Islam Lengkap, Solo: Media Zikir.
Raja Abdullah bin
Abdul aziz ali sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Rasjid, Sulaiman.
2001. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Sabiq,
Sayyid, 2001. Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada.
Sarwat, ahmad,
2002, Fikih Sehari-hari. Jakarta: Gramedia
Suhendi, Hendi.
2000. Fiqh Muam,lah. Jakarta: Grafindo Persada.
Sutedi, andrian,
2011, Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta.
Syafe’i,
Rachmat. 2001. Fiqih muamalah. Bandung : Pusaka Setia
Zuhdi, Masyfuk.
1997. Masail Fiqhiyyah. Jakarta: Hajimasagung.
1Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo
Persada, 2001. hlm. 139.
2Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo
Persada, 2001. hlm. 139.
3Raja Abdullah bin Abdul aziz ali sa’ud, Al-Qur’an dan
Terjemahannya. hlm. 71
4Prof. Drs. H. Masyfuk zuhdi. Masail fiqhiyah, Jakarta:
Haji masagung, 1997. hlm.122
5H. Hendi suhendi, Fiqh muamalah, jakarta: Grafindo
persada, 2000. hlm.105
6Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, M. A. Fiqih muamalah,
Bandung : Pusaka Setia, 2001, hlm.78
7 Andrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Bandung:
Alfabeta. 2011, hal 135
8 Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari. Jakarta:
PT Gramedia, 2002, hal 93
9H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar
Baru Algensindo, 2001, hal 310
10Ibid, hal.
278
11 Ibid,
hal: 276
12Al hamid, Abdul Qadir
Syaibah, 2007, Syarah Bulughul Maram, Jakarta: Darul Haq, hlm 324
13Al bugha, Mustafa Diib, 2017, Fikih Islam Lengkap, Solo: Media
Zikir, hlm 281.