Sabtu, 27 Juni 2020

Kaidah Rahn (gadai) dalam islam


MAKALAH
QAWAID FIQHIYYAH FIL MUAMALAH
Kaidah Rahn (gadai) dalam islam
Dosen pengampu :
Dr. Sudirman Suparmin, Lc. MA

                                     
OLEH :
M.Agus Kuncoro (0501181004)
M.Rafi Hagi (0501182183)
Fitria Intan Sri Dewi (0501182196)

KELAS: EKI 4 A

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

KATA PENGANTAR
           
            Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang sangat indah.
            Penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan tugas sebagai mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah fil Muamalah. Dalam makalah ini pemakalah mencoba untuk menjelaskan tentang “Kaidah Rahn (gadai) dalam islam”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya – karya kami dilain waktu.Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.




            Medan,        April 2020



Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.      Latar Belakang ................................................................................... 1
2.      Rumusan Masalah............................................................................... 1
3.      Tujuan Penulisan Makalah................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
A.    Pengertian Kaedah dan Tujuanya............................................................. 2
B.     Pengertian Rahn (Gadai)........................................................................... 2
C.     Pengertian Dhoman (Jaminan).................................................................. 6
BAB III PENUTUP....................................................................................... 15
1.      Kesimpulan................................................................................................ 15
2.      Saran ......................................................................................................... 15
ii
 
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................      16














BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Gadai dalam khazanah Islam disebut dengan rahn, ia adalah menggadaikan suatu barang sebagai jaminan atas transaksi hutang yang dilakukannya. Karena sifatnya adalah akad tabaru’ maka tidak boleh ada manfaat yang diambil oleh murtahin (orang yang menerima gadai).Harta yang digadaikan sendiri adalah tetap menjadi milik dari rahin (penggadai) sehingga tidak boleh digunakan tanpa adanya izin dari pemiliknya.Murtahin diperbolehkan mengambil uang pemeliharaan dari rahin jika harta gadaian tersebut membutuhkan pemeliharaan. Inti  dari akad gadai dalam Islam adalah saling tolong-menolong untuk meringankan beban orang lain.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.1

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan tujuan kaidah?
2.      Apa pengertian rahn (gadai)?
3.      Apa pengertian dhoman (jaminan)?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah dan selain itu untuk mengetahui:
1.      Pengertian dan tujuan kaidah
2.      Pengertian rahn (gadai)
3.      Pengertian dhoman (jaminan)




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dan Tujuan Kaidah
a.      Pengertian Kaidah
Kaidah' adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak.Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat.Secara umum kaidah dibedakan atas dua hal yaitu kaidah etika atau kaidah hukum.
Kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma agama dan norma kesopanan. Namun tidak jarang kaidah etika merupakan kaidah yang datang dari diri manusia misalnya dari ajaran agama contohnya tidak boleh berprilaku jahat pada orang lain.
Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas.Kaidah hukum ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara langsung atau tidak langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk kedamaian, ketentraman, dan ketertiban hidup bersama.
b.      Tujuan Kaidah
Adapun tujuan kaidah adalah untuk mengatur agar suatu masalah kehidupan ini bisa berjalan dengan sebaik mungkin tanpa adanya kesemerautan.
B.     Pengertian Rahn (Gadai)
Gadai (al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan secara istilah dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas adanya dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
Gadai adalah menjadikan suatu barang menjadi peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang.
Sedangkan, dalam dunia perbankan syari`ah biasa disebut dengan agunan. Agunan adalah jaminan tambahan,baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syari`ah.2
1.      Dasar hukum gadai
Dasar hukum gadai dapat kita ketahui dalam firman Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283
وَإِنكُنتُمْعَلَىٰسَفَرٍوَلَمْتَجِدُواكَاتِبًافَرِهَانٌمَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْأَمِنَبَعْضُكُمبَعْضًافَلْيُؤَدِّالَّذِياؤْتُمِنَأَمَانَتَهوَلْيَتَّقِاللَّهَرَبَّهُ ۗ وَلَاتَكْتُمُواالشَّهَادَةَ ۚ وَمَنيَكْتُمْهَافَإِنَّهُآثِمٌقَلْبُهُ ۗ
Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) ". (Al-Baqarah: 283).3

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas ra. Ia berkata  :
Dari Anas Ia berkata :Rosululloh SAW merungguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah sewaktu beliau mengutang sya’ir (gandum) dari seorang yahudi untuk ahli rumah beliau” (HR.Ahamad,Bukhari ,dan lainya )
     Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa agama Islam dalam urusan muamalat tidak membedakan antara pemeluknya dengan yang lain. Wajib atas muslimin membayar hak pemeluk agama lain seperti terhadap sesama mereka.4
2.      Rukun dan syarat gadai
Rukun adalah hal-hal yang harus ada didalam suatu urusan yang dimaksud. Adapun rukun gadai meliputi :
2.      Lafaz ( akad )
Kalimat akad misalnya ’’saya rungguhkan ini kepada engkau atas utangku yang sekian  kepada engkau”. Jawab yang berpiutang “Saya terima rungguhan  ini”.
3.      Aqid,
Yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).Adapun syarat keduanya adalah baligh, berakal dan hendaknya keduanya adalah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).


4.      Barang yang digadaikan (marhun)
Barang yang digadaikan hendaklah sudah ada diwaktu akad gadai dan bisa diserahkan oleh penggadai serta tidak rusak sebelum sampai janji hutang harus dibayar.
5.      Adanya hutang.
Disyaratkan keadaan utang telah tetap.Apaila utang telah tetap, yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang tersebut.Baik dengan jalan dijual, diberikan dan sebagainya.Kecuali dengan izin yang berpiutang.5
3.      Akibat hukum terhadap harta yang digadaikan.
Bila marhun (barang yang digadaikan) dibawah penguasaan murtahin (orang yang menerim gadai) ,maka murtahin tidak wajib menggantinya ,kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermain-main dengan api ,lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tidak dikunci ,lalu barang-barang itu hilang diambil orang.
Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, maka menjadi tangung jawab murtahin.
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah sebagai berikut,
a.       Risiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
b.      Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.6
4.      Implementasi Rahn Dalam Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir sama dengan pegadaian konvensional. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjamanpun dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja.
Sesuai dengan landasan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:
1)      Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2)      Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.7
Adapun teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
i.               Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
ii.               Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
iii.               Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya Jasa Simpan oleh nasabah.
iv.               Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat mengembalikan  uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
v.               Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.
vi.               Manfaat ar Rahn (Gadai)
 Manfaat yang diambil oleh bank dari prinsip ar rahn adalah:
a.       Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
b.      Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang jika nasabah peminjam ingkar atau lalai karena ada suatu asset /barang jaminan yang dipegang bank.
c.       Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian, maka barang sudah tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.8

5.      Pemanfaatan Barang Gadai
Pemilik barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, bahkan semua manfaat tetap kepunyaan penggadai.Kerusakan barang pun tetap menjadi tanggungannya. Sabda Rosululloh SAW :
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat baraang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya” (H.R Syafi’i dan Daruqutni)9
Orang yang menerima rungguhan juga dapat mengambil manfaat barang dengan sekedar mengganti kerugiannya, untuk menjaga barang tersebut.

C.    Pengertian Dhoman (Jaminan)
Jaminan maksudnya tanggungan dan kewajiban. Kamu berkata,” dhamina asy-syai’ dhamanan fahuwa dh min wa dhamn”(ضمن الشيء ضمانا فهو ضامن وضمين) yaitu menanggung dan mewajibkan dirinya, “wa dhammantuhu asy-syai’ tadhminan fathadhammanahu anni”(و ضمنته الشيء تضمينا فتضمنه عني) saya memberi beban kepadanya sebuah beban, maka dia membawa beban diriku, maksudnya saya memberikan piutang kepadanya, maka dia wajib melaksanakannya10.
Dhaman adalah menanggung kewajiban dari sesuatu yang wajib atas orang lain, disertai tetapnya sesuatu yang dijamin darinya.Dhaman sah dengan semua lafazh yang menunjukkan atasnya, seperti aku menjaminnya, atau aku menanggung darinya, atau semisal yang demikian itu11.
Firdaus at.sl., (2005: 84 – 85) mengemukakan bahwa para ulama menjelaskan tentang dhaman sebagai berikut.
a.       Menurut mazhab Hanafi bahwa dhaman adalah menggabungkan jaminan kepada jaminan yang lain dalam hal penagihan dengan jiwa, utang atau benda lain.
b.      Pendapat mazhab Maliki, dhaman adalah jaminan seorang mukalaf yang bukan safih (tidak bisa membelanjakan harta boros) atas utang, atau untuk mengawasi orang yang dijamni, baik dengan menghadirkannya maupun tidak.
c.       Menurut mazhab Hambali, yang dimaksud jaminan (dhaman) adalah menggabungkan antara tanggung jawab penjamin dan orang yang dijamin dalam menanggung kewajiban.
d.      Ulama mazhab Syafi’I berpendapat bahwa dhaman  adalah membebankan diri dengan menanggung utang orang lain, atau menghadirkan benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, yang terjadi ditengah masyarkat, jaminan (dhaman) ini juga dapat diberlakukan pada jaminan tahanan atas seorang tersangka.Oleh karena itu, dalam dhaman mengandung tiga permasalah, yaitu sebagai berikut.
a.       Jaminan atas utang seseorang. Dalam soal utang, kita bisa menjamin utang seseorang seandainya seseorang yang kita jamin itu tidak dapat membayar utangnya, kitalah yang wajib melunasi utang seseorang itu. Atau, karena sesuatu hal, orang yang member utang boleh menagih utangnya kepada kita.
b.      Jaminan dalam pengadaan barang. Misalnya, seseorang menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh si X. Apabila si X tidak dapat mengembalikan barang itu kepada si Y.
c.       Jaminan dalam menghadirkan seseorang ditempat tertentu. Umpamanya, si A menjamin menghadirkan si B dalam suatu perkara ke hadapan pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Sabda Rosulullah Saw:
العارية مؤداة والزعيم غارم. رواه أبو داود والترمذى
pijaman hendaknya dikembalikan, dan orang yang menanggung hendaklah membayar.” (riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)

1.      Landasan Hukum Dhaman
ويصح ضمان الديون المستقرة في الذمة إذا علم قدرها؛ ولصاحب الحق مطالبة الضامن والمضمون عنه؛ إذا كان الضمان على ما بينا.وإذا غرم الضامن رجع على المضمون عنه؛ إذا كان الضمان والقضاء بإذنه.و لا يصح ضمان المجهول, و لا ما لم يحب إ لا درك البيع.

Dhaman (menjamin) hutang yang masih dalam status perjanjian menjadi sah apabila diketahui kadarnya.Orang yang member hutang berhak menagih kepada siapapun yang menginginkannya, baik dhamin (penanggung hutang) maupun madhmun ‘anhu (orang yang ditanggung hutangnya), jika dhaman tersebut sesuai dengan yang kami jelaskan.Apabila dhamin berhutang, dia bisa meminta madhmun ‘anhu untuk ganti membayar hutangnya jika dhaman tersebut dan pelunasannya berdasarkan izinnya.Tidak sah hukumnya dhamman untuk hutang yang tidak jelas dan sesuatu yang tidak berada dalam perjanjian kecuali diketahui barangnya12.
Tidak sah hukumnya dhaman untuk hutang yang tidak jelas dan sesuatu yang tidak berada dalam perjanjian. Misalnya, seseorang mengatakan , “ Saya menanggung apa yang engkau hutangkan  kepada si Fulan “.
Jika barang diketahui, maka dhaman untuk hutang yang tidak jelas dan sesuatu yang tidak berada dalam perjanjian itu boleh dilakukan .contoh kasus : seseorang menanggung harga untuk pembeli jika barang yang dicari keluar bukan dari penjualnya, atau cacat dan lain sebagainya. Ini adalah dhaman untuk sesuatu yang belum tetap. Hukumnya boleh , karena kebutuhan.

2.      Rukun Ad-Dhamman
Adapun yang menjadi rukun dalam dhaman13, yaitu:
a.       Yang menjamin, disyaratkan sudah baligh, berakal tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dengan kehendaknya sendiri.
Yang berpiutang (madmun lah).syaratnya, dia diketahui oleh yang menjamin
b.      Yang berutang (madmun ‘anhu)
c.       Utang , barang atau orang. Disyaratkan diketahui dan tetap keadaannya (baik sudah tetap ataupun akan tetap)
d.      Lafadz. Disyaratkan lafadz itu berarti jaminan, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara (muaqatan). Seperti yang dikatakan oleh orang yang menanggung “ saya jamin utang mu kepada si fulan” atau saya bertanggung jawab untuk menghadirkan barang itu atau orang itu ke tempat dan waktu yang ditentukan,” walaupun tidak dijawab oleh yang berpiutang (tidak wajib ijab qabul).
Yang berpiutang berhak menagih kepada yang menjamin atau kepada yang berutang. Apabila utang dibayar oleh  yang menjaminnya, dia berhak meminta ganti kepada yang berutang, asal dia mendapat izin dari yang berutang sewaktu akad dan sewaktu membayarnya.
Seseorang yang berada dalam suatu urusan perkara boleh juga ditanggung untuk menhadirkannya ke majelis pengadilan, asal prkara itu bersangkutan dengan manusia.Tetapi kalau perkara itu semata-mataa bersangkutan dengan Allah saja, seeperti siksaan karena zina atau minum arak, tidak boleh ditanggung karena iadapat mengingkari perbuatannya agar dilepas dari ancaman yang dihadapkan padanya.
Menurut Al-Jazairi, diantara hukum-hukum Dhaman adalah sebagai berikut.
a.       Dalam dhaman disyaratkan adanya kerelaan dhamin (penanggung), sedang pada orang yang ditanggung, kerelaan tidak diperlukan.
b.      Utang madhmun (orang yang ditanggung) tidak lunas kecuali setelah penangung (dhamin) melunasi utangnya. Jika utang madhmun (orang yang ditanggung) telah terlunasi, tugas dhamin selesai.
c.       Dalam dhaman, pengenalan terhadap orang yang ditanggung (madhmum) itu tidak diperlukan, karena seseorang diperbolehkan menanggung orang yang tidak dikenalnya, karena dhaman  adalah sumbangan dan amal baik seseorang kepada orang lain.
d.      Dhaman tidak terjadi kecuali pada utang yang pasti, atau sesuatu yang mengarah kepada kepastian, misalnya ja’alah.
e.       Tidak dilarang bila dhamin (penanggung) terdiri dari banyak orang dan juga tidak dilarang bila dhamin ditanggung orang lain.

3.      Macam-macam Dhaman
Secara umum (garis besar), dhaman dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Dhaman dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan) pada pihak penjamin (al-kafil, al dhamin atau al za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makfullah).
Penanggungan (jaminan) yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya.Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah menyangkut badan bukan harta.Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan had menuduh zina tidak sah, sebab Nabi Saw. Bersabda: “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat al-Baihaqi). Alasan berikutnya ialah karena menggugurkan dan menolak had adalah perkara syubhat. Oleh karena itu, tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang dan tidaklah mungkin had dapat dilakukan, kecuali oleh orang yang bersangkutan. Mazhab syafi’I berpendapat bahwa dhaman  dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia, seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut menurut syafi’iyah termasuk hak yang lazim. Bila menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah. Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut. Menjamin dengan menghadirkan badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut persoalan harta maupun menyangkut masalah had. Syarat apa pun yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah bathil.
Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa (kafalah bil al-wajh), dengan alasan bahwa Rasullah Saw.Pernah menjamin urusan tuduhan. Namun, menurut Ibnu Hazm bahwa hadis yang menceritakan tentang penjaminan Rasullah Saw. Pada masalah tuduhan adalah bathil karena hadist tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah dhaif dan tidak boleh diambil periwayatannya.
b.      Dhaman dengan harta yaitu kewajibna yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Dhaman harta ada tiga macam yaitu:
1)      Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain, dalam hadis Salamah bin Aqwa bahwa Nabi Saw. Tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar utang, kemudian Qathadah r.a. berkata: “shalatkanlah dia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya”.
Dalam dhaman utang disyaratkan sebagai berikut:
-          Hendaklah nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang Qiradh, upah dan mahar seperti seorang berkata, “juallah benda itu kepada A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka penjualan benda tersebut adalah jelas, hal disyaratkan menurut mazhab Syafi’i. sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
-          Hendaklah barang yang dijamin diketahui menurut Mazhab Syafi’I dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak ketahui, sebab itu perbuatan tersebut gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh emnjamin sesuatu yang tidak diketahui
2)      Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang laib, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil seperti dalna kasus ghasab. Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
3)      Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena karena hal-hal lainnya, maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.

4.      Waktu pelaksanaan Dhaman
Dalam pelaksanan, dhaman dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.       Munjaz, yaitu jaminan yang ditunaikan ketika peristiwa itu terjadi. Misalnya, seseorang berkata, “saya jamin si A sekarang”. Dengan adanya kata “sekarang”, berarti ketika itu juga ia harus menunaikan apa yang telah ia ikrarkan. Oleh karena itu, ucapan yang dikeluarkan oleh penjamin menunjukkan waktu atau cara bagaimana ia memenuhi jaminan itu. Apabila kad penjaminan itu terjadi maka penanggungan itu mengikuti akad utang, entah dibayar seketika itu, dicicil, entah ditangguhkan dalam waktu tertentu.
b.      Mu’allaq, yaitu menjamin sesuatu yang dikaitkan dengan sesuatu. Misalnya, seseorang berutang kepada si A. saya mengatakan kepada seseorang, “klaau kamu ditagih utang oleh si A, saya yang akan membayarnya”. Dalam hal ini, antara penjamin dan yang dijamin itu sudah saling tahu.
c.       Mu’aqqad, yaitu jaminan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada waktu tertentu, seperti ucapan seseorang yang mengatakan, “bila kamu ditagih utang pada bukan Desember, maka aku yang akna menjamin pembayaran utangmu”. Menurut mazhab hanafi, penjaminan semacam itu adalah sah, tetapi menurut mazhab Syafi’I, itu hanya sah pada orang yang menjamin atau orang yang berutang. Namun yang perlu diingat, jaminan itu hanya menyangkut harta dengan sesama manusia saja, tidak dengan Allah, seperti menjamin hukuman potong tangan bagi pencuri atau qishah bagi pembunuh. Hukuman tersebut harus langsung dijalani oleh pelakunya dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain.

5.      Pembayaran Dhamin
Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajiban dengan membayar utang orang yang ia jamin, boleh meminta kembali kepada madmun ‘anhu apabila pembayaran itu atas izinnya. Dalam hal ini para ulama bersepakat, namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya. Menurut al-Syafi’I dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa  izindarinya adalah sunah, dhamin tidak punya hak untuk meminta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madmun ‘anhu). Menurut Mazhab Maliki, dhamin  berhak menagih kembali kepada madhmun ‘anhu.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali kepada Madhmun ‘anhu  atas apa yang telah dibayarkan, baik dengan izin Madmun ‘anhu maupun tidak. Apabila madhmun ‘anhu (orang yang ditanggung) tidak ada,  kafil (dhamin) berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntunan kecuali dengan membayar atau orang yang mengutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari utang makful (orang yang mengutangkan) adalah mem-fasakh-kan akad kafalah, sekalipun makful ‘anhu dan kafil tidak rela.

6.      Berakhirnya Akad Tanggungan
Penanggungan utang akan berakhir jika ditandai dengan mulai tercapainya sasaran penanggungan itu sendiri, yaitu salah satu dari dua perkara sebagai berikut. Pertama; pembayaran utang pemilik piutang telah nyata-nyata dilunasi, atau paling tidak dengan sebuah tindakan yang mengarah ke pembayaran utang, yaitu tindakan pemberi pinjaman yang menghibahkan hartanya kepada peminjam sehingga tidak ada satu hal pun yang membiarkan tanggungan tetap ada. Kedua; pembebasan utang yang keluar dari pemberi pinjaman terhadap peminjam, atau dengan suatu hal yang memiliki pemahaman yang sama dengan hal tersebut, sehingga utang menjadi gugur. Akan tetapi pembebasan penjamin dari tanggungan tidak berakibat utang menjadi otomatis bebas, karena pembebasan itu hanya bertujuan menghindari penagihan, dan utang tetap menjadi tanggungan peminjam.Utang piutang juga dapat berakhir melalui akad pemindahan utang kepada orang kaya, sehingga peminjam terbebas dari tanggungannya, atau melalui mediasi yang dilakukan antara pemberi pinjaman dan peminjam dengan tuntutan pengurangan sebagian utang.

7.      Hikmah Dhaman
Hikmah dhaman sebagai berikut:                                                    
1.      Munculnya rasa aman dari peminjam (penghutang).
2.      Munculnya rasa lega dan tenang dari pemberi hutang
3.      Terbentuknya sikap tolong menolong dan persaudaraan


BAB III
PENUTUP
i.            Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”, Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad. 
Dhaman adalahmenanggung kewajiban dari sesuatu yang wajib atas orang lain, disertai tetapnya sesuatu yang dijamin darinya.Dhaman sah dengan semua lafazh yang menunjukkan atasnya, seperti aku menjaminnya, atau aku menanggung darinya, atau semisal yang demikian itu. Dalam segi hukum dhaman telah disepakati oleh para ulama bahwa diperbolehkan karena mengandung kemaslahatan orang banyak, sedangkan beberapa juga beberapa ulama tidak membolehkannya karena tidak adanya kejelasan atau pelanggaran dalam perjanjian.

ii.            Saran
Diantara beberapa amalan yang disunahkan untuk umat muslim khususnya maka harapan selanjutnya agar terus bisa menuntut ilmu dalam muamalat. Banyaknya keterbatasan penulis dalam menyampaikan penjelasan kali ini menjadikan pelajaran untuk kedepannya dan diharapkan dari pembaca sekalian menyampaikan saran agar menjadi lebih baik lagi.












DAFTAR PUSTAKA

Al hamid, Abdul Qadir Syaibah, 2007, Syarah Bulughul Maram, Jakarta: Darul Haq.
Al bugha, Mustafa Diib, 2017, Fikih Islam Lengkap, Solo: Media Zikir.
Raja Abdullah bin Abdul aziz ali sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid, 2001. Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada.
Sarwat, ahmad, 2002, Fikih Sehari-hari. Jakarta: Gramedia
Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muam,lah. Jakarta: Grafindo Persada.
Sutedi, andrian, 2011, Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih muamalah. Bandung : Pusaka Setia
Zuhdi, Masyfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. Jakarta: Hajimasagung.



1Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada, 2001. hlm. 139.
2Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Grafindo Persada, 2001. hlm. 139.
3Raja Abdullah bin Abdul aziz ali sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 71
4Prof. Drs. H. Masyfuk zuhdi. Masail fiqhiyah, Jakarta: Haji masagung, 1997. hlm.122
5H. Hendi suhendi, Fiqh muamalah, jakarta: Grafindo persada, 2000.  hlm.105
6Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, M. A. Fiqih muamalah, Bandung : Pusaka Setia, 2001, hlm.78

7  Andrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Bandung: Alfabeta. 2011, hal 135
8 Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari. Jakarta: PT Gramedia, 2002,  hal 93
9H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2001, hal 310
10Ibid, hal. 278
11 Ibid, hal: 276
12Al hamid, Abdul Qadir Syaibah, 2007, Syarah Bulughul Maram, Jakarta: Darul Haq, hlm 324
13Al bugha, Mustafa Diib, 2017, Fikih Islam Lengkap, Solo: Media Zikir, hlm 281.